The Broken Home

Jumat, 01 April 2011

The Broken Home. Rumah yang rusak atau hancur. Tidak, bukan itu yang saya akan bahas pada kesempatan kali ini – bukan kondisi rumah yang rusak atau hancur, namun situasi dan kondisi keluarga yang menempati rumah tersebut. saya yakin sejauh ini –secara garis besar anda sudah bisa menelaah apa yang akan saya tuangkan dalam tulisan ini. tapi tetap anda masih belum tau detail macam apa. Ter-ispirasi dari cerita seorang teman yang mengalami kekerasan dalam keluarganya, dan berbagai macam jenis perlakuan kurang layak yang ia dapat –yaa.. anak ‘broken home’, sebutan yang biasa orang –baik remaja maupun dewasa gunakan ketika bertemu dengan anak yang perilakunya kurang begitu baik. Saya yakin, sebenarnya bukan keinginan mereka untuk berperilaku kurang –bahkan tidak baik, tapi karena mereka diperlakukan tidak baik oleh salah satu –atau semua anggota keluarganya-lah maka ia menjadi seperti itu. Semacam timbal balik. Ketika seseorang diperlakukan tidak layak, maka ia-pun akan memperlakukan orang tidak layak. Kerap sekali kita menemukan fenomena timbal balik seperti itu.

Dalam sebuah keluarga, terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, dsbg. Tercipta sebuah kondisi dimana jika semua bagian dari keluarga saling bahu-membahu membina keluarga yang baik, sehat dan sejahterah, juga memiliki rasa kasih sayang, saling menghormati, saling tolong-menolong, maka akan tercipta sebuah keharmonisan. Dan sebaliknya, ketidak harmonis-an terjadi jika salah satu atau sebagian dari bagian keluarga itu tidak memainkan apa yang semestinya –entah itu ayah, ibu, kakak, adik. Mainkan dalam perannya.  

Misal . ketika seorang ayah tidak lagi menjadi tulang punggung keluarga, ketika seorang ibu tidak lagi berada dirumah untuk menjaga –mendidik anak, ketika seorang kakak tidak lagi menjadi contoh baik untuk seorang adik, dan ketika seorang adik tidak lagi memiliki seorang pembimbing. Terbayangkah apa yang sekiranya akan terjadi ?. ayah yang menjadi pengangguran dan bingung memikirkan bagaimana cara menghidupi anggota keluarganya. Ibu yang menjadi seorang wanita karir dan jarang sekali berada dirumah –menghabiskan banyak waktu untuk pekerjaannya, Sedangkan pekerjaan dirumah di kerjakan oleh pembantu yang pagi datang sore sudah pulang. Kakak yang tidak mematuhi apa yang orangtua katakan, silau akan gemerlapnya kehidupan metropolitan, pemikiran yang berubah menjadi seorang idealis. Adik yang tidak lagi diperhatikan oleh seorang ibu karena sibuk bekerja, tidak lagi dipedulikan pergaulannya, dan mudah terpengaruh. Dan lain sebagainya. 

Terbesit sepele, namun hal-hal kecil yang diabaikan justru akan sangat berpengaruh nantinya –sedikit sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Pepatah itu saya rasa sekarang tidak lagi berlaku hanya untuk 1 arti, tapi banyak arti. Sedikit-sedikit “ahh, gapapaa” begitu katanya, lalu “yaudaah gapapaa, sepelee” begitu katanya lagi. ‘Tidak apa-apa’ ? begitu ?,
ketika seorang anak pulang malam tanpa memberitahukan kemana ia pergi, misal karena biasanya ibunya pulang larut –tidak apa-apa ?
ketika seorang anak dibawah umur mengucapkan kata yang semestiya tidak diucapkan anak seumurnya, misal karena ia mendapati kakaknya pernah mengucapkannya –tidak apa-apa ?
ketika seorang anak ketahuan merokok, misal karena ia penasaran bagaimana rasanya merokok setelah melihat ayahnya sendiri merokok –tidak apa-apa ?
ketika seorang anak kabur dari rumah, misal karena ia tidak betah dengan perlakuan orangtua –tidak apa-apa ?

Keempat kasus diatas ada yang terkesan biasa dan ada yang terkesan ‘wah’. Apapun kesan yang dicerminkan kasus-kasus di atas jika biasa diabaikan, akan menjadi sbuah kebiasaan nantinya –habbit. Yang mana untuk merubah habbit tersebut, dibutuhkan kerjasama peran-peran yang terkait dan waktu yang tidak sebentar. Apa hal tersebut bisa dibenarkan kapanpun kita mau ? TIDAK, kita bahkan tidak tahu kapan kita akan mati, entah 1 jam kemudian, 1 hari, 1 bulan, bahkan 1 tahun. Ketika terjadi sebuah ketidak-benaran, benahi saat itu juga selama kita masih bisa merasakan degup jantung kita. Maka kita akan dapati ketenangan dalam hidup.

Saya akan mengambil salah satu contoh kasus yang bisa anda pikirkan dengan sebaik-baiknya dan mengambil hikmah baik dari cerita ini. perlu diketahui, cerita ini real –nyata tanpa dilebihkan atau dikurangi. Karena kehidupan ini lebih keras dari apa yang orang kebanyakan pikirkan, bukan lagi cerita dengan aksen ‘misalkan’. saya memilih cerita ini –yang saya rasa sangat memprihatinkan daripada yang lain. sebagai bentuk dedikasi kepada teman saya agar ia bisa terus berjuang menggapai ’indahnya hari esok’, agar bagaimanapun buruknya situasi dan kondisi, masih bisa tetap bersyukur karena –sayapun yakin di luar sana, ia tidak sendirian. banyak orang mengalami hal yang sama, atau bahkan lebih.

Suatu hari, saya mendapati ponsel saya berbunyi, dari seorang teman perempuan –sebut saja tessa. Terdengar isak tangis disebrang sana. Segera saya menanyakan apa yang terjadi. Sambil terisak ia mulai menceritakan perihal jawaban dari pertanyaan saya. Ia mengatakan bahwa ia dipukuli ayahnya dan ia tak tahan dengan rasa sakitnya. Sesaat saya kaget dan tak terbayangkan seperti apa luka yang ia dapat. Saya menyuruh ia menenangkan diri, because to be truth, saya kurang begitu jelas dengan cerita detailnya perihal ia berbicara sambil menangis. Akhirnya kami memutuskan untuk bertemu keesokan harinya. Dan seperti yang saya takutkan, begitu bertemu, saya langsung tertuju pada luka lebam di matanyaa. Begitu mencolok sampai tidak bisa disembunyikan. 


to be continued..
sorry for inconvenience :)

0 comments:

Posting Komentar